Petikan Cerbung (1)
Gerimis baru saja usai. Tanah basah. Titik air masih terlihat di ujung daun ilalang, juga bunga kembang sepatu yang banyak di halaman rumah, di sudut kanan, dekat jalan setapak, jalan dimana orang-orang lalu lalang. Burung-burung mulai kerkicau dan sepasang anjing sedang bergurau, saling mengaum, berlarian dan kemudian diam. Ini hari kedelapan setelah peristiwa malam yang menggemparkan, saat ibu Suri meraung dan merarau.
Suri turun ke tanah, membuat garis-garis dengan pecahan porselen. Ketika garis-garis tersebut akhirnya saling terambung membentuk kotak-kotak, Suri menatap dan tersenyum, menyadari garis-garis tersebut lurus dan tepat. Dia hendak main ‘sedapak’ meski hanya sendirian. Lalu Suri pun mulai melompat-lompat di kotak-kotak yang dia buat, sambil memindah-mindahkan pecahan porselen tadi, dari satu kotak ke kotak lainnya. Kadang Suri bergumam, seolah-olah dia tidak sendirian. Kadang dia tertawa, serasa menjadi pemenang dari permainan tunggal tersebut.
Meski membelakangi jalan, telinga kecil Suri mendengar riangnya tawa kanak-kanak perempuan. Secara refleks Suri menoleh dan melihat tiga kanak-kanak sebaya sedang berjalan pelan, tangan mereka memegang ubi jalar yang sudah direbus. Mereka tertegun sejenak melihat ke arah Suri dan serentak membawa tangan kecil mereka ke arah belakang, maksudnya agar ubi tadi tak terlihat Suri. Terlambat, Suri sudah melihatnya. Tapi Suri tak peduli.
“Hallo teman-teman, main sedapak yukk…” Suri melambai ke arah bocah-bocah tersebut. Mereka saling berpandangan dan serentak menggeleng.
“Kami mau pulang, kata Tek Ipot kami harus terus jalan pulang, gak boleh mampir..” salah seorang dari bocah tadi menjawab, dia terlihat lebih besar, dengan rambut sebahu yang kaku dan kakinya terlihat hitam-hitam, bekas korengan.
“Kami dilarang dekat-dekat kamu Suri, kata mamak gak boleh,” lanjut yang lain.
“Kenapa?” polos Suri bertanya.
“Ibu mu kata mamak ku mulai gila..” yang paling pendek diantara ketiganya menjawab, tanpa merasa berdosa, kepolosan kanak-kanak, yang mulutnya bercuap apa saja yang dia dengarkan di telinga.
Duarrr…parrr..deegg. Suri terhenyak, dalam jiwa, meski masih tertegak. Matanya nanap, tapi mulutnya kelu, tak bisa menjawab. Teliganya masih mendengar cekikikan tiga bocah sebayanya tadi sebelum hilang di kerumanan batang bunga sirantan. Suri tercenung, menatapi pecahan porselen yang ada di tangan kirinya. Kata-kata itu seperti dengingan lebah, bernyanyi-nyanyi sumbang di gendang telinganya.
“Kata mamak ku ibu mu mulai gila’ kalimat yang membuat Suri tertikam, meski dia tak paham. Ada air mata jatuh dan Suri pun meraung.
“Hei ada apa, mengapa kamu menangis,” kata ayah, sambil menghampiri Suri dan meninggalkan daun kelapa kering yang sedang dia sisir dari kayunya. Daun kelapa yang akan membuat tungku mereka bisa nyala dan kayunya menjadi alat untuk memasak di dapur.
“Kata Nanak, mamaknya bilang Ibu mulai gila…” Suri tersedu-sedu, sehingga tak melihat wajah ayah yang menegang dan giginya gemeretuk.
“Ya sudah, ayo naik,” ayah membopong badan kecil Suri dan membawa menaiki tangga, untuk sampai ke atas rumah. Pertama kali Suri menghitung tangga dari batu itu, jumlahnya sembilan, dari tanah hingga paling atas. Ayah menurunkannya di tangga dapur, tempat Ibu sedang mengukur kelapa.
“Keluargamu memang tak bisa didiamkan lagi. Kurang ajar semua, jahanam,” suara ayah menggelegar di telinga Suri, ibu terhenti tangannya dari mengukur kelapa.
“Ada apalagi ayah? Biarkan saja mereka,” kata Ibu.
“Anak mereka saja bisa bilang kalau kau gila,” ujar ayah.
Ibu tertunduk dan Suri melihat airmata menetes dari wajahnya. Ayah diam, Suri bungkam. Bisa apa dia? Suri sejenak bisa mencerna, dia salah kata, harusnya tak menyampaikan ke ayah ucapan Nanak tadi, masalahnya jadi panjang, jadi rumit. Tapi sudah terlanjur.
Suri menunduk dan meringkuk, menyudut ke bagian atas tangga dan bersandar di tonggak pintu. Ada sesal masuk ke hatinya, mengapa tak pandai menyimpan kata yang akan membangkitkan amarah ayah. Tapi pada sisi lain hatinya bingung, dia hanya paham sedikit saja dari masalah ini, tapi tak mampu mengurainya.
Tiba-tiba ayah mencabut golok yang terselip di dinding tadir, dekat jendela kecil di atas tungku dapur. Sejenak dia sudah hilang, seperti terbang. Ibu tegak dan berlari menyusul. Suri bengong, tapi berdiri dan diam-diam berlari di belakang ibu. Melewati kebun ubi, melewati kebun talas dan terlihat ayah berhenti di depan sebuah rumah semi permanen, berwarna kuning.
“Ooiiii kalian yang di atas rumah, turun ke halaman, hadapi aku, aku bunuh kalian semua. Jangan gaanggu keluargaku, kalian dengar itu? Jangan ganggu keluargaku,” ayah berteriak-teriak, sampai kain sarungnya lepas.
Rumah itu tertutup rapat dan Suri melihat dari jauh, di kolong, bersembunyi di balik potongan pelepah rumbia, Nanak duduk, diam, seperti patung. Sekilas, dia juga menatap Suri. Matanya menyorotkan kemarahan. Suri undur, berbalik dan berjalan pelan, terus arah ke semak ubi, makin ke dalam dan sampai diperbatasan hutan. Ada pohon saga, dipenuhi perdu, pandan berduri. Di rumput, Suri melihat buah saga merah-merah bertebaran, tapi dia tak berniat memungut, seperti biasa. Hatinya kacau.
Suri duduk di pokok sebuah pinang dan menyandarkan kepala ke batang yang licin itu. Semak dan rimba menhyembunyikan panas dan menyuburkan angin, sehingga Suri merasa nyaman dan mengantuk. Tapi kepala kecilnya berputar-putar, mendengar lengkingan suara ayah yang membawa parang dan ibu yang memekik-mekik, menyuruh ayah pulang. Semua berbaur dan pelan matanya kabur, Suri tertidur.
“Suri bangun, ayo bangun…” sebuah tangan mengoyang-goyang badan Suri dan dia pun membuka mata.
“Oh, iya Pak Etek,” kata Suri, kepada lelaki baya yang membangunkannya. Lelaki itu menjunjung rumput di kepala yang dimasukan ke dalam daun kelapa yang sudah dianyam membentuk tong. Dia merungkuk sedikit, menarik tangan Suri dan melepaskannya ketika Suri sudah sempurna bangun.
“Pulang sana, nanti ayah mu mencari, kau ini mataharinya, pulang ya???’
“Iya Pak etek,” dan Suri pelang berjalan, meunuju arah datang, ke jalan setapak, sebelum hilang dirimbunan pokok ubi.
Pelan-pelan masuk rumah dari pintu belakang yang terbuat dari pelepah rumbia yang disusun, Suri tak menemukan ayah, hanya ada ibu yang sedang menangis, sambil memeluk Kinantan, adik laki-laki Suri paling kecil, masih berusia 6 bulan. Kinantan menyusu dan tak terganggu dengan tangisan ibu. Pelan, Suri melihat ibu membelai rambut Kinantan. Pelan Ibu berkata lirih; cepatlah besar Nantan, bangkitkanlah batang terandam. Jaga ibu dan kakak perempuanmu.
Suri mencari-cari dengan sudut mata adik satunya lagi, si anak tengah, Surai. Tapi dia tak menjumpai anak laki-laki 3 tahun itu, telinga Suri mendengar teriakan-teriakan Surai, rupanya dia lagi main kelereng di halaman samping dengan teman sebaya. Surai tak sedikit pun merasa apa yang kakaknya rasa.
Suri ingat, saat malam pengusiran ibu, Surai dan Kinantan sudah tidur, pulas, di kamar tengah, kamar orang tuanya. Suri masih bangun, karena biasanya Suri baru bisa tidur jika sudah dibacakan dongeng oleh sang ayah dan kamarnya sudah terpisah, Suri di kamar belakang. Malam itu memang belum waktunya ayah membacakan dongeng atau ibu menceritakan tentang Malin Kundang, Rambun Pamenan, Pinyaram tujuh atau pun Rajo Angek Garang. Cerita-cerita yang dilahap Suri dengan tenang dan dia hapal satu per satu, tetapi selalu tak pernah bosan, meski setiap hari diceritakan.
Suri juga masih kerap canggung di kamarnya, kamar besar, 4x4, dindingnya dari papan, tersusun rapi. Ada gambar-gambar tergantung di dinding, dari gambar wanita cantik hingga pemandangan. Lemari besar, tiga pintu, berdiri kokoh dan satu cermin antik, oval, juga tertempel erat didinding. Tempat tidurnya adalah tempat tidur besi, kokoh, dengan tonggak-tonggak penuh ukiran, berkelambu putih dan gelang-gelang yang terdapat di pagar tempat tidur tersebut akan berbunyi setiap Suri naik ke atasnya. Di dinding lampu teplok dengan kaca setengah pecah, jadi cahaya bagi Suri jika malam datang. ****(Bersambung)