Cerpen Luzi Diamanda
"BAH, mereka-mereka itu memang bangsat, manusia berjiwa kerdil. Mereka sembunyikan kebusukan diri dengan melempar kesinisan terhadap orang lain. Mereka berpura-pura suci, lalu menyebar aib tentang orang lain. Anjing kurap, setan dekil, kalian sebenarnya siapa, he? Perangilah nafsu batil kalian, baru sebarkan tentang kesucian dan sorga pada orang lain."
Tiba-tiba ada air jatuh, tepat di tengah kertas yang ada tulisan di atasnya. Merebak, makin besar dan makin meninggalkan bayangan. Makin lama air itu makin banyak, hingga akhirnya kerta tersebut setengah lumat. Kata-kata kasar yang tertera dengan spidol merah itu mulai mengembang, kabur dan susah untuk dibaca. Kemudian terdengar isak tertahan. Lamat-lamat, tapi terasa begitu keras dalam malam sepi macam ini.
Kala isak terhenti, ada bantingan keras, seperti piring pecah. Diam sejenak, berlanjut lagi, hingga malam jagi hingar-bingar. Suara bantingan lenyap. Sepi. Dalam kamar yang kini tampak seperti kapal pecah, Ning terduduk lemas. Tangannya menopang dagu, mata menerawang. Keliarann yang sejenak membuat kamar hiruk pikuk, sungguh tak berbekas. Ning lelah.
***
GORESAN garis-garis di atas kanvas dengan warna-warna berani, mendominasi dinding-dinding di ruang pameran. Merah, hijau, kuning ungu dan hitam, berpadu serasi. Selintas kelihatan keras, tapi perlawanannya adalah gejolak hidup. Di sudut, dekat lukisan merak yang menantang, Ning terpaku. Matanya tak hendak terpicing. Dia raup diam-diam dalam sanubari gejolak yang timbul karena lukisan itu. Betapa menyalanya sang merak, di tengah alam yang mengungkung.
Tiba-tiba Ning tersentak.
Seorang laki-laki, 30-an tahun, sudah berdiri di belakangnya. Ning amat kenal dia dan dia juga amat kenal Ning. Kawan lama. Malah boleh terbilang kawan akrab. Tapi kali ini tatapannya terasa begitu lain, asing dan penuh tanya. Tawa yang tadi menggantung di bibir Ning, lenyap dengan terpaksa. Ketika akhirnya laki-laki tersebut berlalu, Ning terluka. Tak ada tegur sapa, hanya sebuah tarikan sinis di sudut bibirnya. Ning berpaling ke belakang, tempat dia tadi meninggalkan Edo, sang suami.
Kembali hatinya robek, laki-laki yang telah meninggalkan sesungging senyum sinis buat Ning, begitu akrab dalam baur tawa bersama Edo.Ning mencoba melupakan keduanya. Beranjak pada lukisan lain. Ada laut dengan bianglala senja. Seorang nelayan terkantuk-kantuk di atas sampannya. Tapi kini tak tak lagi sepenuhnya Ning bisa menikmati lukisan itu. Nalurinya mengatakan agar segera pergi saja. Ketika Edo melambai, Ning mengangkat bahu, menunjuk ke luar. Pulang.
*******
DALAM gelap ruang pertunjukan, Ning masih duduk menunduk, seperti menyembunyikan muka dari tatap orang lain. Padahal, kalaupun kepala dia tegakkan, tak ada yang bakal tahu pasti bahwa itu Ning. Angan yang dia bawa ke dari rumah, menyaksikan pertunjukan teater dengan sepenuhnya, sirna seketika. Kala kaki Ning melangkah masuk, saat lampu masih menyala, tiba-tiba saja ada yang mendongak. Tatapannya segera lain, saat mata mereka bertemu. Ada yang menusuk dada Ning, perih dan sakit.
Tatap itu berisi tuduhan dan betapa sinisnya. Sekejap, wajah itu berpaling pada teman di sampingnya, berbisik dan terus begitu sampai empat kali, tiba-tiba saja kemudian keempatnya serempak menatap Ning. Dan dalam diam, kembali luka menganga di dada Ning. Ada api yang menjalar, memanaskan dada Ning. Tatap mereka, sungguh terasa lain. Ada tanya, ada curiga dan ada juga ketakmengertian. Ning terpukul. Dia cari kekuatan dengan memegang lengan Edo, sang suami. Kehangatan yang menjalar dari sana, tak menyejukan hati Ning. Diam- diam dia lumat wajah Edo yang demikian dekat, mencari sesuatu. Tapi tak ada, selain kerinduan, kerinduan seorang Ning, pada Edo.
******
ADA tangisan yang mengantarkan bara ke dada Ning. Tangisan anak perempuan kecil, karena ditinggal ibu. Meski itu soal biasa, toh sebentar lagi dia akan diam, tapi kali ini Ning merasakannya amat luar biasa. Hentakan-hentakan yang memalu dada, seiring tangis itu, membuat Ning terkulai lemas. Kemudian diam. Ning terpaku, tak jadi melangkah ke luar. Segera dia rebahkan badan di atas kasur. Ada yang menjalar, mula-mula di kepala Ning. Berdenyut, terus ke dada, perut dan kaki. Ning menggigil. Sebuah rasa lain, rasa yang diliputi kerinduan, berbaur dengan kepedihan yang menyayat. Ning memukul dada, coba menghilangkan ngilu yang menyerang. Kala Ning terbebas dari rasa itu, dia terkulai, lemas.
"Buah hatiku, belahan jiwa..." Sayup-sayup bibir Ning bersenandung, sambil tangannya mengusap perut.
HUJAN yang turun makin deras, menggigilkan. Tak hanya raga tapi juga jiwa Ning. Dia terpaku, menatap titik-titik air. Lalu, perlahan, melangkah menyambutnya. Sekejap, basah kuyup semua. Tapi langkah kaki yang tersendat-sendat, terus berlalu. Pedih kuliat tertimpa hujan dirasakan Ning belum seberapa. Dia usap pipi, masih ada benjolan, bekas lima jari tangan. Dia usap, lalu menangis. Air hujan dan airmata pun bersatu.
Lalu lalang mobil, ketipak ladam kuda bendi atau cipratan air yang dengan sengaja dilakukan para sopir membuat kumal gaun Ning. Dan tatap aneh dari mata-mata yang kebetulan berpapasan atau dari rumah-rumah pinggir jalan, tak menggoda Ning untuk menghentikan langkah. Dia susuri hujan, seperti kemarin, ketika sebuah kecemburuan meletupkan marah Edo, Ning adalah korban yang tersudut. Telah dia tutup rapat pintu hati dari sibakan masa lalu, tapi kembali itu dibangkitkan. Ning terkulai, selalu begini dan begini juga.
SEPULUH tahun, memang tak singkat. Sejarah kehidupan putar berputar. Tapi bagi Ning, tak seperti roda, sekali di atas sekali di bawah. Seluruhnya hanyalah kelelahan dan kekalahan, setelah pasrah panjang yang tak berujung. Ketika terlahir sebagai perempuan, gurat nasib adalah jelas untuk Ning. Kelak, akhirnya sampai pada ujung. Menjadi istri, menjadi ibu dan menjadi makhluk nomor dua. Yang lebih parah lagi, menjadi hamba.
Seperti ibunya, kakak-kakaknya atau tante-tantenya atau perempuan-perempuan yang pernah Ning kenal. Tapi jiwa Ning yang selalu bergolak, tak suka itu. Pikiran Ning penuh warna, tak dapat menerima itu. Pikiran yang datang dari masa lalu, pikiran yang datang dari keegoisan kaum laki-laki. Ning memang perempuan, tapi bukan makhluk nomor dua. Kelak dia akan jadi seorang istri, tapi bukan hamba.
Bagi Ning, persekutuan antara dua lawan jenis adalah persekutuan dua sifat, dua pikiran dan dua idealisme. Keduanya adalah mitra, tak ada yang tinggi dan tak ada yang rendah. Jika wanita tak kenal lelah, mengabdi seharian, demi keutuhan sebuah rumahtangga, kenapa laki-laki harus dibiarkan bebas? Harusnya saling berbagi, saling mengisi. Bantah membantah adalah juga denyut kehidupan.
Tapi tak mungkin, kultur telah tercipta, memojokkan kaum wanita, juga Ning, dalam sebuah keranda. Dia tetap wanita. Ketika pikiran-pikiran Ning lontarkan, dia menjadi sebuah lelucon, lelucon baru, baik dari kaumnya, apalagi bukan kaumnya. Tapi Ning tak patah. Kemudian, ketika Ning harus bersanding di pelaminan, mengukuhkan diri sebagai seorang istri, harap itu tak pernah pudar. Dia telah siapkan diri sebagai mitra.
Kala jiwa yang bergolak, pikiran yang penuh warna itu harus tandas pelan-pelan dalam kenyataan, Ning melabuhkan diri dalam pasrah panjang. Tapi tak lama. Jiwa dan pikiran itu butuh muara. Ketika harkat kewanitaannya dilukai, salahkah kalau kemudian Ning mundur diri? Jalan yang ditempuh jelas, dan Ning memilih; kembali sendiri. Menekuni karir, bergulat dalam keras hidup, melontarkan pikiran dan memenuhi apa yang selama ini hanya jadi gejolak hati, itulah kemudian hakikat hidup Ning. Sejenak dia puas.
Hidup terus berputar dan tak ada yang tahu pasti, ke mana arah putar itu akan membawa diri. Sesaat, mimpi yang jadi nyata, hilang oleh gerhana. Tiba-tiba suara-suara itu datang, suara- suara yang memedihkan. Tak hanya sakit untuk didengar tetapi juga pedih untuk didiamkan.
Wanita yang sendiri, maju dalam karir, siapa yang bisa meyakini kalau itu milik sendiri? Suara-suara sumbang, sindiran-sindiran tajam dan tatapan-tatapan aneh, memporakporandakan segala keyakinan. Ning terkapar, ketika kata janda dihembuskan penuh benci oleh kaumnya, penuh birahi oleh lawan jenisnya.
Coba untuk tidak dipedulikan. Langkah kaki menyeruak di antara bilah-bilah kehidupan. Tapi kala semua tiba-tiba tutup mata, apa daya? Ning, kesendiriannya Ning, selaku makhluk masih punya rasa, apakah harus diam saja? Kerap, malam-malam, kala mengapung pikiran dan jiwanya. Tuhan beginikah hidup? Jiwa Ning bergetar. Diakah yang telah menyalahi takdir?
Kembali lelah panjang menemani malam demi malam, pagi demi pagi, siang demi siang terpuaskan oleh gejolak jiwa yang terus mencari atau oleh gejolak pikiran yang terus memberi. Untuk apa semua ini? Untuk apa diambil, kala badai sampai pada puncaknyaa, kadang adalah keputusan yang bersifat untung-untungan. Kesendirian, ter nyata tak selamanya menyenangkan. Dan dalam badai yang menderu, ketika sebuah uluran tangan datang menawarkan damai, mungkinkah itu ditolak? Sebuah kasih tak bertepi, sebuah kasih dengan pemahaman, datang dari Edo.
Gejolak jiwanya adalah gejolak jiwa Ning juga. Dan dia adalah mitra, tempat segala ide hendak dibagi, lalu dirumuskan dalam sebuah karya. Hadir di produk masa kini, Edo adalah juga orang yang menggugat keadaan. Wanita bukan hamba dan pria bukan dewa. Ning terbuai, karisma dan simpati yang menggetarkan. Tak pula dia gugat hati, kala harus mengukuhkan diri sebagai istri. Dan layar yang terkembang adalah layar kokoh, untuk lautan maha luas. Tak Ning ragukan cadiknya, tak Ning ragukan gelombang. Bukankah dia juga gelombang?
Hidup terus berputar dan kadang kita terlanda oleh putarannya. Begitu juga Ning. Adakah madu cuma manisnya sampai di bibir saja? Jika manisnya ternyata datang bersamaan dengan pahit empedu, apa daya? Pahit atau manis, akhirnya sama-sama menjadi sebuah kekala han, kalau kita tak berdaya mendayungnya mencapai pulau cita. Siapa duga kalau layar kokoh itu bisa sobek? Pertama, oleh Edo sendiri. Sebagai lelaki yang masih lajang, penuh keberanian melompati pagar untuk hidup bersama wanita yang pernah berdua dan kemudian sendiri lagi, akhirnya pertahanan itu luruh juga.
Ning merasakannya, meski Edo tak pernah berkata apa-apa. Ketika Edo menolak mengatakan siapa Ning sesungguhnya, Edo sudah menyimpan sebuah dusta. Cinta memang kerap terbawa emosi, tanpa mau menoleh agak sejenak, apa setelah itu yang akan terjadi. Dan cinta Edo, mengalahkan seluruh perintang, sebelum ini. Tapi seperti emosi yang bisa reda, jika pelampisannya sudah tuntas, demikian pula cinta. Kalaupun tak musnah, kadarnya tak lagi sekental dulu.
Pertanyaan tentang masa lalu yang tak perlu, kecemburuan yang tak perlu, kini muncul ke permukaan sebagai sebuah kendala yang tak pernah tuntas. Dia teror kebersamaan yang awalnya bak madu, dia retas benang kasih yang awalnya bak nira, kemudian dia bangun pelan-pelan jaring keretakan. Retak itu makin makin lebar. Dan kembali kewanitaan Ning tergugat. Mitra yang dia harapkan, ternyata berbalik pada kadar semula, lebih mengarah pada hamba. Dan bantahan sudah tak lagi ada artinya, karena dia harus menerima. Dia tak lagi kawan seiring, tapi hanyalah seorang penunggu rumah. Dalam kegalauan, sungguh, Ning tak tahu rimba mana lagi yang harus ditebas.
Beban lain, ketika gugatan alam juga harus hadir. Ning, sebagai wanita yang rahimnya adalah tempat persemaian, mulai merasa kalau benih itu mulai hidup. Tatkala tuntutan baru hendak disusun, ketika keberadaan baru hendak digugat, benih itu datang, nyata dan tak mungkin ditolak lagi. Dalam gugatan demi gugatan, dalam gejolak demi gejolak, dalam tanya demi tanya, apa lagi yang harus dipertahankan? Ning, sendiri dan merasakan jentik-jentik benih dalam rahimnya sebagai sebuah tantangan lain. Dalam kegalauan, Ning tahu pasti dia tak ingin memisahkan benih ini, apalagi menguranginya kembali. Dia adalah nyata, dari bibit Edo dan bibitnya.
Demi sebuah kehidupan baru, jika benih ini kelak lahir, Ning kembali tata hatinya. Sungguh dia tak sanggup kalau kelak benih itu hadir, dewasa dan kemudian kembali menggugatnya sebagai ibu yang agagal. Ning, terlahir sebagai seorang wanita dan segalanya harus dia tahankan.
Ning kembali menekuri lantai. Pecahan-pecahan kaca dan koran- koran yang berantakan, seperti memandangnya tak mengerti. Dia tak akan maklum, betapa sesungguhnya dia hanya lampiasan dari jiwa Ning yang tengah menjerit. Tak hanya kewanitaannya yang digugat, tapi keberadaannya di sisi Edo pun digugat. Ning jeritkan lewat nafas yang berhembus keras, bahwa dia, seorang Ning, tetaplah seorang wanita yang telah kembali dari keduaan, kesendiriaan dan keduaan lagi. Itu cukup untuk sebuah status, tak bagus. Doa-doanya kepada Tuhan, kala sujud tengah malam, belum tuntas membukakan pintu. Tapi tak seperti masa lalu, kali ini tak mungkin membongkar sejarah lama, meninggalkan segalanya. Ning, seorang perempuan, harus arif untuk sebuah keutuhan. (*)
Entri yang Diunggulkan
HILANG KE LIANG
Sajak: Luzi Diamanda Bumi meminta anaknya kembali ke pelukan hilang, ke liang.. kala cangkul meratakan tanah akhir bersama rapal doa-doa men...